Notification

×

Iklan

Iklan

Adipati Nitiadiningrat I: Kisah Mbah Surga-Surgi, Peletak Dasar Pasuruan dan Pelestarian Nilai Budaya

Selasa, 02 Desember 2025 | 20:55 WIB |

Mbah Surga-Surgi: Adipati Pasuruan yang Menjadi Ikon Spiritual dan Budaya Jawa (Yuli/Kabardesa.co.id)


PASURUAN, Kabardesa.co.id
 – Nama Mbah Surga-Surgi, yang bergelar Adipati Nitiadiningrat I, tak terpisahkan dari sejarah pembentukan Pasuruan. Sosok yang juga dikenal sebagai Kanjeng Pangeran ini dikenang sebagai pemimpin yang saleh, berilmu tinggi, dan menjalani hidup dalam kesederhanaan, menjadikannya panutan yang sangat dihormati oleh masyarakat Pasuruan. Beliau dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Alun-Alun Pasuruan.


Pada masa kepemimpinannya, Pasuruan mengalami perkembangan pesat. Beliau berhasil membangun tatanan pemerintahan yang menyerupai struktur keraton, di mana masjid, alun-alun, dan pusat pemerintahan saling terhubung—sebuah tata ruang yang mencerminkan pusat peradaban Jawa.

Di bidang ekonomi, industri gula tumbuh maju, seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan melalui Pelabuhan Gembong.


Meskipun demikian, catatan sejarah Pasuruan juga menyimpan kisah legendaris mengenai sebuah kutukan di Desa Bandaran, yang konon membuat warganya berubah menjadi "jerangkong" atau tengkorak hidup selama tujuh turunan, sebagai akibat dari kesalahan fatal yang dilakukan terhadap sang Adipati.


Sebagai wujud penghormatan abadi, masyarakat Pasuruan secara rutin menggelar haul Mbah Surga-Surgi setiap tanggal 8 November. Selain itu, tradisi Purnamaan yang diadakan setiap tanggal 15 Jawa juga terus dilestarikan.


Dalam tradisi Purnamaan ini, warga banyak yang mengenakan blangkon sebagai simbol penghormatan, sebab Mbah Surga-Surgi dikenal gemar memakainya. Blangkon, sebagai warisan budaya Jawa, melambangkan filosofi “gamblange lakon,” yaitu kesadaran untuk menjalani hidup sesuai peran dan takdir yang telah ditentukan. Pakaian serba hitam juga sering dikenakan, karena dalam budaya Jawa, warna hitam mencerminkan keteguhan dan keabadian.


Rangkaian tradisi Purnamaan ini biasanya diawali dengan pembacaan Yasin, tahlil, dan doa bersama. Acara kemudian ditutup dengan makan bersama sebagai wujud persaudaraan, yang digelar di bawah payung Madinah Alun-Alun Pasuruan.


Kisah Mbah Surga-Surgi merupakan bagian dari folklor lisan yang tumbuh dan diwariskan secara turun-temurun, berfungsi sebagai sarana penanaman nilai budaya dalam masyarakat.


Menggunakan sudut pandang teori kebudayaan (Setiadi), folklor ini mengajarkan dua nilai utama:


Nilai Spiritual (Hubungan dengan Tuhan): Melalui cerita ini, masyarakat diajarkan nilai-nilai spiritual seperti keikhlasan, ketawadukan (kerendahan hati), dan kesadaran akan kedekatan dengan Tuhan. Nilai ini mendorong individu untuk menerima ketentuan Tuhan dengan lapang dada dan senantiasa menjaga hubungan spiritualnya.


Nilai Sosial (Hubungan Antarsesama): Folklor ini juga menegaskan pentingnya menjaga hubungan harmonis antarsesama. Nilai saling menghormati, tolong-menolong, gotong royong, dan hidup rukun tercermin dari keteladanan tokoh dalam cerita, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, folklor menjadi pedoman etika kolektif yang memperkuat persatuan dan keharmonisan masyarakat.


Nilai budaya yang terkandung dalam kisah Mbah Surga-Surgi menunjukkan bahwa budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Budaya tidak hanya lahir dari kemampuan berpikir, tetapi juga dari pengalaman batin dan kehendak untuk berbuat kebaikan. Manusia yang beretika akan melahirkan budaya yang sarat nilai moral, yang pada akhirnya mampu meningkatkan martabat dan harkat manusia itu sendiri.


(Yul)


×
Berita Terbaru Update