Notification

×

Iklan

.

Iklan

.

Advetorial

SP3 Kasus Kriminal Wartawan Gardamalaka, Penyidik Polres Malaka dan Polda NTT Ada Dualisme Penafsiran

| Februari 16, 2021 WIB
KabarDesa.co.id, Malaka - Penghentian Penyidikan terhadap dugaan perbuatan pidana terhadap wartawan Gardamalaka.com sangat disayangkan. Mengapa? Antara Penyidik Polres Malaka dan Polda NTT ternyata ada dualisme penafsiran. 

Mengapa ada dualisme penafsiran? Apakah Penyidik Polres Malaka dalam menetapkan tersangka tidak merujuk kepada UU No.8 Tahun 1981 ataukah Penyidik Polda NTT menggunakan KUHAP yang mana sehingga sudah ditetapkan tersangka malah di SP3 dengan dalih tidak cukup bukti,(14/2/2021).

Kuasa Hukum Gardamalaka.com Wilfridus Son Lau SH.,MH Jelaskan penyidik Polres Malaka dalam menetapkan tersangka apakah tidak memenuhi “bukti permulaan”? 
Sudah jelas diatur bahwa dalam hal menetapkan seseorang menjadi tersangka sudah pasti penyidik telah memperoleh probable cause/bukti permulaan. 

Artinya cukup fakta dan keadaan bahwa tersangka adalah pelaku tindak pidana. Dalam kaitannya dengan dugaan tindak pidana pengeroyokan dan/atau penganiayaan terhadap wartawan Gardamalaka, penetapan tersangka terhadap Edmundus Klau, dkk sudah pasti penyidik telah memperoleh bukti permulaan. 

Nilai bukti yang diperoleh telah selaras atau telah bersesuaian dengan keadaan yang terjadi. SP3nya kasus ini, tidak saja aneh tapi juga misterius. Apakah VeR (Visum et Repertum) itu menjadi satu-satunya alat bukti untuk membuktikan tindak pidana yang disangkakan kepada para tersangka? 

Dalam sistem pembuktian pidana di Indonesia menganut system pembuktian negative wettelijk artinya merujuk pada sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ver itu dikategorikan sebagai bukti surat sebagaimana Pasal 184 KUHP sehingga tidak bisa berdiri sendiri karenanya alasan penghentian Penyidikan yang dilakukan Polda NTT karena tidak cukup bukti tidak beralasan menurut hukum. 

"SP3 nya kasus wartawan Gardamalaka ini menjadi preseden buruk penegakan hukum di wilayah NTT dan lemahnya perlindungan hukum terhadap wartawan di NTT"; ungkapnya.

Padahal, wartawan itu menurut undang-undang Pers dalam menjalankan profesinya dilindungi undang-undang sehingga apabila ada yang menghalangi saat melaksanakan tugasnya dapat dipidana. 

"SP3 ini justru terkesan Polisi membiarkan praktik impunitas terhadap wartawan terjadi. Polda NTT tidak serius untuk menuntaskan kasus ini dan tidak memahami undang-undang Persnya sehingga perbuatan yang nyata-nyata adalah perbuatan pidana malah dihentikan.  Ini menunjukan Polda NTT gagal dan tidak paham hukum", jelasnya.

Penghentian penyidikan atas suatu perbuatan pidana yang sedang berproses atau sedang berjalan memang kewenangan penyidik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi, undang-undang juga secara limitatif membatasi alasan penghentian penyidikan. 

"Penghentian Penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti sama sekali tidak membawa hapusnya wewenang penyidik untuk memeriksa dan menyidik kembali kasus tersebut sehingga apabila di kemudian hari diperoleh bukti yang cukup, penyidikan dapat dimulai lagi sebab dari segi hukum formal penghentian penyidikan bukan merupakan nebis in idem. Kasus ini belum selesai", tutupnya.(tim/red)
×
Berita Terbaru Update